Sabtu, 11 April 2009

Pengertian Komunikasi dan Organisasi

PENGERTIAN KOMUNIKASI
Carl I. Hovland
“Proses merubah perilaku orang lain” (dalam Effendy, 1997:10).

Harold Lasswell
“Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” (dalam Effendy, 1997:10).

Onong Uchana Effendy
“Proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya” (2003:28).

Gerald A. Miller
“Komunikasi pada pokoknya mengandung situasi keperilakuan sebagai minat sentral, dimana seseorang sebagai sumber menyampaikan suatu pesan kepada seseorang atau sejumlah penerima yang secara sadar bertujuan mempengaruhi perilakunya” (dalam Effendy,1986:62)

Moore (1988)
“Communications (komunikasi) menunjukan suatu proses khas yang memungkinkan interaksi antar manusia dan menyebabkan individu-individu menjadi makhluk sosial. Dan yang kedua adalah communications (komunikasi bermedia) menunjukan cara teknis komunikasi secara tidak langsung atau berperantara, meliputi media-media mulai dari genderang seku primitif, isyarat dengan asap, dan batu-batu prasasti sampai telegrafi, cetakan, siaran, dan film”.





PENGERTIAN ORGANISASI
Edgar H. Schein
“Suatu organisasi adalah koordinasi sejumlah kegiatan manusia yang direncanakan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui pembagian tugas dan fungsi serta melalui serangkaian wewenang dan tanggung jawab” (1991:17).

Sondang P. Siagian
“Organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan mana terdapat seorang atau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut dengan bawahan” (dalam Indrawijaya 1986:3)

Prajudi Atmosudirdjo
“Organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang-orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu” (dalam Indrawijaya 1986:4).

Adam I. Indrawijaya
“Organisasi didefinisikan sebagai suatu himpunan interaksi manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yang terikat dalam suatu ketentuan yang telah disetujui bersama” (1986:4).

Stephen P. Robbins
“A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continiuous basis to achieve a common goal or set of goals”(1990:4)


Talizidihu Ndraha
“Organisasi dapat juga diamati sebagai living organism seperti halnya manusia, dan sebagai produk procces organizing. Sebagai living organism, suatu organisasi merupakan output proses panjang masa lalu. Sedangkan sebagai produk procces organizing adalah alat atau input bagi usaha mencapai tujuan ke depan (2005:47).


DAFTAR PUSTAKA
Effedy, Onong U. “Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

………………… “Ilmu Komunikasi : Teori & Praktek”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.

Indrawijaya, Adam I., Drs “Perilaku Organisasi”, Sinar Baru, Bandung, 1986.

Ndraha, Taliziduhu.,Prof.Dr. “Teori Budaya Organisasi”, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.


Robbins, Stephen P. “Organization Theory”, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New York, 1990.

Schein, Edgar H. “Psikologi Organisasi”, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1991)

Efek Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan sejenis kekuatan sosial yang dapat menggerakkan proses sosial kearah suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Akan tetapi untuk mengetahui yang dimiliki komunikasi massa dan hasil yang dapat dicapainya dalam menggerakkan proses sosial tidaklah mudah. Oleh karena itu, efek yang dapat dicapai oleh komunikasi massa yang dilaksanakan melalui berbagai media perlu dikaji melalui metode tertentu yang bersifat analisis psikologi dan analisis sosial.
Yang dimaskud dengan analisis psikologi adalah kekuatan sosial yang merupakan hasil kerja dan berkaitan dengan watak serta kodrat manusia. Sedangkan analisis sosial adalah peristiwa sosial yang menjadi akibat komunikasi massa dengan penggunaan media massa yang unik serta kompleks (Ardianto & Erdinaya, 2004:48).
Donald K. Robert (Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999) mengungkapkan, ada yang beranggapan bahwa “efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa.” Oleh karena fokusnya pesan, maka efek harus berkaitan dengan pesan yang disampaikan oleh media massa.
Dalam proses komunikasi, pesan dalam media massa tersebut dapat menerpa seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, Stamm (dalam Ardianto & Erdinaya, 2004:49) menyatakan bahwa “efek komunikasi massa terdiri atas primary effect dan secondary effect.
Menurut Steven M. chaffe (dalam Ardianto & Erdinaya, 2004:49) efek media massa dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan pertama, adalah efek dari media massa yang berkaitan dengan pesan ataupun media itu sendiri.
2. Pendekatan kedua, adalah dengan melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa yang berupa perubahan sikap, perasaan dan perilaku atau dengan istilah lain dikenal sebagai perubahan kognitif, afektif, dan behavioral.
3. Pendekatan ketiga, yaitu observasi terhadap khalayak (individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau bansa) yang dikenai efek komunikasi massa.

A. Efek Kehadiran Media Massa
Mc Luhan mengemukakan the medium is the message, media adalah pesan itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk media saja sudah mempengaruhi khalayak. Yang mempengaruhi khalayak bukanlah apa yang disampaikan oleh media, tetapi jenis media komunikasi yang digunakan oleh khalayak tersebut, baik tatap muka maupun melalui media cetak atau elektronik. Menurut Steven M. chaffe, terdapat lima jenis efek kehadiran media massa sebagai benda fisik, yaitu :
1. Efek Ekonomi
Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa. Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang mensuplai kertas koran; menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, membuka lapangan kerja bagi para wartawan, perancang grafis, pengedar, pengecer, pencari iklan, dan sebagainya.
2. Efek Sosial
Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. Kehadiran televise dapat meningkatkan status sosial dari kepemilikannya. Di pedesaan yang baru diterpa oleh kehadiran televisi telah terbentuk jaringan interaksi sosial yang baru. Koran Masuk Desa telah mengubah perilaku masyarakat desa, juga telah menjadi pusat jaringan sosial. Mereka menghimpun warga disekitarnya untuk menciptakan interaksi sosial yang baru. Di kota-kota besar, parabola juga telah membentuk jaringan interaksi sosial yang baru. Pemilik antena parabola telah menjadi pusat jaringan sosial, yang menghimpun tetangga dissekitarnya yang seideologi. Antena parabola telah menjadi sarana yang menciptakan hubungan patron client yang baru.
3. Efek Penjadwalan Sehari-hari
Dalam seluruh aktivitas kegiatan manusia, selalu diselingi dengan sentuhan media massa.
4. Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman
Manusia menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya untuk menghilangkan perasaan kesepian, marah, kesal, kecewa dan sebagainya.
5. Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu
Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri manusia, tetapi juga dapat menumbuhkan perasaaan tertentu. Terkadang, seseorang akan mempunyai perasaan positif atau negatif terhadap media tertentu. Tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada suatu media massa tertentu erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut.

Denis Mc Quail (dalam Bungin, 2008:317) menjelaskan bahwa efek media massa memiliki typology yang mana terdiri dari empat bagian yang besar, yaitu :
Pertama, efek media merupakan efek yang direncanakan, sebagai sebuah efek yang diharapkan terjadi terjadi baik oleh media massa untuk kepentingan berbagai penyebaran informasi.
Kedua, efek media massa yang tidak direncanakan atau tidak dapat diperkirakan, sebagai efek yang benar-benar diluar kontrol media, diluar kemampuan media ataupun orang lain yang menggunakan media untuk mengontrol terjadinya efek media massa. Efek media terjadi dalam kondisi tidak dapat diperkirakan dan efek media terjadi dalam kondisi tidak terkontrol.
Ketiga, efek media massa terjadi dalam waktu pendek namun secara cepat, instan, dan keras mempengaruhi seseorang atau masyarakat.
Keempat, efek media massa berlangsung dalam waktu yang lama sehingga mempengaruhi sikap-sikap adopsi inovasi, kontrol sosial sampai dengan perubahan kelembagaan, dan persoalan-persoalan perubahan budaya.
GAMBAR 1
TIPOLOGI EFEK MEDIA MASSA (MC QUAIL,2002:426)

1. Efek Media yang Terencana
Efek media massa yang dapat direncanakan bias terjadi dalam waktu yang pendek atau waktu yang cepat, tetapi juga bias terjadi dalam waktu yang lama. Efek media massa yang dapat direncanakan dan terjadi dalam waktu yang cepat seperti propaganda, respons individu, kampanye media, news learning, pembingkaian berita, dan agenda setting. Sebuah pemberitaan media massa melalui propaganda umpamanya, maka media massa dapat melakukannya dalam waktu singkat, yaitu beberapa menit di media massa,kemudian efek media massanya dapat pula diperkirakan sampai berapa jauh menerpa masyarakat, termasuk luasan efek yang dapat terjadi. Begitu pual dengan kampanye seperti iklan, dapat juga dilakukan dalam waktu singkat, dan efek iklan dapat diperkirakan sejauhmana mempengaruhi masyarakat. Pembingkaian berita (framing), dengan maksud-maksud tertentu oleh sebuah media massa, dapat dilakukan dalam waktu pendek dan efeknya dapat membentuk opini-opini yang bisa diperkirakan oleh orang media, termasuk pula agenda setting berakibat terhadap terpolanya agenda masyarakat sesuai dengan pilihan agenda media.
Namun efek media yang terencana ini juga dapat dilakukan dalam waktu yang lama, dengan efek media yang lama pula terjadi di masyarakat. Dengan pemberitaan yang direncanakan oleh media, maka media dapat merencanakan terjadinya sebuah difusi dalam berbagai objek pembangunan di masyarakat. Namun pula, karena waktu yang lama, maka pemberitaan terhadap sebuah objek terdifusi menjadi berbagai pemberitaan di sekitar itu, bahkan akan terjadi media dapat menyebarkan gagasan-gagasan difusi-inovasi terhadap hal-hal baru di masyarakat. Sebuah difusi-inovasi yang baik di masyarakat akan dengan mudah mendapat penerimaan masyaraka, karena itu dalam waktu yang lama, media dapat menyebarkan difusi-inovasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
2. Efek Media yang tidak Terencana
Efek media massa yang tidak terencana dapat berlangsung dalam dua tipologi, yaitu dalam waktu cepat dan terjadi dalam waktu yang lama. Yang terjadi dalam waktu cepat merupakan tindakan reaksional terhadap pemberitaan yang tiba-tiba mengagetkan masyarakat. Pemberitaan macam ini tanpa disadari media akan menimbulkan reaksi individu yang merasa dirugikan, akan reaksi kelompok yang merasa dicemarkan, bahkan dapat memicu tindakan-tindakan kekerasan. Reaksi terhadap pemberitaan Majalah Tempo oleh seorang pengusaha di Jakarta sehingga sampai ke pengadilan, kemudian aksi pendudukan Banser di kantor Redaksi Jawa Pos di Surabaya, adalah contoh-contoh dari efek media massa yang tak terduga atau tak dapat dikendalikan oleh media sendiri.
Begitu pula, pemberitaan media massa tentang kekerasan dan criminal, sekilas dalam waktu pendek tak bermasalah, orang yang menonton acara itu tidak langsung melakukan tindakan-tindakan melanggar hokum yang dilihatnya di televisi atau media massa lain. Namun, dalam waktu yang lama, tanpa disadari pemberitaan seperti itu akan menjadi “jalan keluar” yang tak dikehendaki oleh dirinya sendiri, apabila ia mengalami masalah yang sama dengan apa yang dilihatnya dari televisi. Jadi efek media massa ini telah menciptakan “peta analog” mengenai jalan keluar dari masalah yang akan dihadapi di waktu yang akan datang. Sehingga apabila orang itu terkena musibah, maka dengan gampang saja ia menggunakan racun nyamuk untuk menghabisi hidupnya,karena “peta analog” penyelesaian masalah seperti itu telah lama hidup dalam “theater of the mind¬”-nya.
Jadi, dalam waktu yang sama efek-efek media massa ini sulit dikendalikan oeh media itu sendiri, atau bahkan tak terkendali sama sekali. Namun efek itu telah merusak kontrol sosial, sistem-sistem sosial, sistem budaya, pandangan hidup dan konsep realitas orang, sampai dengan gagasan-gagasan menciptakan budaya-budaya baru yang merusak peradaban umat manusia.
Dari tingkat kekuatan dan kerusakan sosial yang diakibatkan oleh efek media massa, maka dapat dijelaskan bahwa kerusakan sosial akibat efek media massa adalah sebagai berikut :
Tahap Satu
Efek merusak pada yang paling mudah terjadi pada tatanan fisik dan perilaku individual (perilaku organism) yang berdampak pada perilaku kelompok dan masyarakat. Efek ini terlihat dengan berbagai perilaku mulai dari perilaku menolak, menahan diri sampai dengan perilaku menerima. Ada juga efek emosional seperti ketakutan, phobia, sampai dengan efek melawan.
Tahap Dua
Efek merusak pada tatanan sikap (norma personal) dan norma-norma lain disekitar sikap seperti merusak sistem sosial sampai dengan merusak sistem budaya serta lingkungan yang lebih luas.

Kerusakan pada tahap satu merupakan kerusakan pada medium pertama, yang secara teori dapat diatasi dalam waktu yang cepat. Efek media massa pada tahap ini kadang bersifat dahsyat, namun akan mudah dilupakan orang seirama dengan berkurangnya pemberitaan tersebut di media massa. Namun apabila efek itu sudah menyentuh tahap kedua, maka diperkirakan efek kerusakan yang diakibatkan oleh media massa terjadi pada dua atau tiga generasi masyarakat, dimana sistem sosial dan sistem budaya bahkan lingkungan yang lebih luas telah rusak akibat dari efek media yang terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Selain apa yang dijelaskan diatas, secara empirik, efek media massa yang tidak diharapkan memiliki andil dalam hal pembentukan sikap, perilkau, dan keadaan masyarakat seperti berikut :
1. Penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat berubah dari tradisional ke modern, dari modern ke post-modern, dan dari taat beragama ke sekuler.
2. Media massa kapitalis telah memicu hilangnya berbagai bentuk kesenian dan budaya tradisional di masyarakat yang mestinya dipelihara.
3. Terjadinya perilaku imitasi yang kadang menjurus kepada meniru hal-hal yang buruk dari apa yang ia lihat dan ia dengar dari media massa.
4. Efek media massa sering secara brutal menyerang seseorang dan merusak nama baik orang tersebut serta menjurus ke pembunuhan karakter seseorang.
5. Persaingan media massa yang tidak sehat menyebabkan media massa mengorbankan idealismenya dengan menyajikan berbagai pemberitaan yang justru menyerang norma-norma sosial sehingga menyebabkan terciptanya perilaku disorder.
6. Penyebaran pemberitaan pornomedia menyebabkan lunturnya lembaga perkawinan dan norma seks keluarga di masyarakat, bahkan memicu terbentuknya perilaku penyimpangan seksual di masyarakat.
7. Berita kekerasan dan teror di media massa telah memicu terbentuknya “ketakutan massa” di masyarakat. Masyarakat selalu merasa tidak aman, tidak menyenangkan bahkan tidak nyaman menjadi anggota masyarakat tertentu.
8. Media massa kapitalis telah sukses mengubah masyarakat; dari kota sampai ke desa; menjadi masyarakat konsumerisme dan masyarakat pemimpi, masyarakat yang hidup dalam dunia 1001 malam tanpa harus bekerja keras. Hal ini menjadi sangat kontradiktif karena di satu sisi masyarakat menjadi konsumerisme dan sisi lain menjadi pemimpi dan pemalas.
9. Media massa cenderung menjadi alat provokasi sebuah kekuasaan sehingga efek media massa menindas rakyat, bahkan dalam skala luas, media massa menjadi alat kolonialisme modern, dengan memihak kepada suatu Negara adidaya, dan menjadi genderang perang untuk memerangi Negara-negara kecil dan miskin.




B. Efek Pesan
Penelitian tentang efek ini telah menjadi pusat perhatian berbagai pihak,baik praktisi maupun teoritisi. Mereka berusaha untuk mencari dan menemukan media (saluran) yang paling efektif untuk mempengaruhi khalayak.
1. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yangf sifatnya informatif bagi dirinya. Melalui media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.
Pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja, tidak lebih dari itu.
Menurut Mc Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Melalui media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Surat kabar, melalui proses yang disebut gatekeeping menyaring berita tentang “darah dan dada” (blood and breast). Karena kita tidak dapat, bahkan tidak sempat, menecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata bersandarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat. Oleh karena itu muncullah dengan apa yang disebut dengan stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar (Rakhmat, 1985:224). Sebagai contoh, wanita dalam film-film India sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang dengan kemewahan, dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus akan menciptakan stereotip pada diri khalayak komunikasi massa tentang orang, obyek, atau lembaga.
Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi pada masyarakat modern karena mereka memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Pada saat yang sama, mereka sukar mengecek kebenaran yang disajikan media massa.
Media massa dapat mengubah citra khalayaknya tentang lingkungan mereka karena media massa memberikan rincian, analisis dan tinjauan tentang berbagai peristiwa.
Efek Proporsional Kognitif
Yang dimaksud dengan efek proporsional kognitif adalah bagaimana media massa memberikan manfaat yang dikehendaki oleh masyarakat. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka televisi telah menimbulkan efek proporsional kognitif.

2. Efek Afektif
Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya.
Suasana emosional sebagai akibat dari menonton televisi atau membaca media cetak sangat sulit untuk diteliti. Emosi tidak dapat diukur dengan air mata penonton. Kegembiraan juga tidak dapat diukur dengan tertawa keras dengan ketika menyaksikan adegan lucu. Tetapi para peneliti telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan pada media massa. Faktor-tersebut antara lain adalah :

a) Suasana Emosional
Respons kita terhadap sebuah film akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita.
b) Skema Kognitif
Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur peristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film laga, “sang jagoan” pada akhirnya akan menang. Karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang jagoan jatuh dari jurang. Kita menduga pasti aka nada pertolongan juga.
c) Suasana Terpaan (Setting Exposure)
Dewasa ini penayangan film dan sinetron hantu, jin, setan atau film-film bertema misteri marak di televisi. Hal ini membuat kita berfikir bahwa, kehidupan makhluk itu adalah sebagaimana yang kita lihat dalam film-film tersebut. Kita akan merasa takut atau ketakutan ketika menyaksikan film horror jika kita menontonya sendirian di rumah. Apalagi jika saat itu turun hujan lebat yang diiringi suara petir dan sebagainya.
Anda tidak akan tertarik menonton acara lawak ketika sedang sakit gigi, tetapi anda akan tertarik dengan iklan obat sakit gigi. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi anda pada waktu memberikan respon. Ketakutan, kengerian, juga emosi lainnya sangat mudah menular.
d) Predisposisi Individual
Mengacu pada karakteristik individual yang khas. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedi lebih emosional daripada orang yang periang. Orang yang mempunyai sifat sensitif akan sulit untuk diajak bercanda. Beberapa penelitian membuktikan bahwa acara yang sama akan ditanggapi berlainan oleh orang-orang yang berbeda.
e) Faktor Identifikasi
Menunjukkan sejauhmana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditonjolkan dalam media massa. Dengan identifikasi, penonton, pembaca, atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia akan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh tersebut.

3. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan akan menyebabkan orang menjadi beringas. Siaran kesejahteraan menimbulkan para ibu rumah tangga memilik keterampilan baru. Pernyataan-pernyataan ini mencoba mengungkapkan tentang efek komunikasi massa pada perilaku, tindakan dan gerakan khalayak yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
















DAFTAR PUSTAKA
Ardianto E, Erdinaya LK “Komunikasi Massa : Suatu Pengantar”, Simbiosa, Bandung, 2004.

Bungin, Burhan. “Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, & Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Karlinah, Siti, Betty S. &
Lukiati Komala “Komunikasi Massa” Universitas Terbuka, Jakarta, 1999.
Mc Quail, Denis. “Mc Quails Mass Communication Theory”, 4th Edition, Sage Publication, London, 2002.

Interaksi Simbolik

I. PENDAHULUAN
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Pada penelitian kualitatif, teori dibatasi pada pengertian : suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris (Moleong,2000:08).
Dalam suatu penelitian, biasanya orientasi teoritis tertentu mengarahkan pelaksanaan penelitian itu sendiri. Peneliti yang baik menyadari dasar orientasi teoritisnya dan memanfaatkannya dalam pengumpulan data dan analisis data. Teori membantu menghubungkannya dengan data.
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksi simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksi simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Berikut ini akan dijelaskan secara rinci mengenai pendekatan interaksi simbolik dalam penelitian kualitatif.

II. INTERAKASI SIMBOLIK
Pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, tapi pengertian diberikan untuk masing – masing tersebut. Contohnya adalah seorang seorang teknolog pendidikan mungkin menentukan sebuah proyektor sebagai alat yang akan digunakan oleh guru untuk memperlihatkan film – film yang relevan untuk tujuan pendidikan, seorang guru barangkali menetapkan penggunaan proyektor tersebut sebagai alat rekreasi untuk siswa apabila ia sudah letih. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.
Untuk memahami perilaku, maka kita harus definisi dan proses pendefinisiannya. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respons yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan objek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan memasuki proses definisi melalui metode pendekatan pengamatan-berperan serta.
Premis dasar dari interaksi simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para interaksionis simbolik. Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.
Sebagai contoh : dalam penelitian mengenai Iklan dan Prostitusi. Subyek menggunakan ’iklan panti pijat’ sebagai media (simbol) penawaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain memanfaatkan ’tampil di cover majalah pria’ sebagai media lain penawaran atau komunikasi pemasaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain lagi ’menjual diri’ dengan tampil di situs jejaring sosial Friendster dengan foto-foto yang ’mengundang’ sebagai media komunikasi pemasaran atau iklan jasa prostitutifnya. Bagaimana subyek membentuk simbol-simbol pengiklanan diri tersebut, bagaimana pelanggan dapat menangkap makna simbol-simbol tersebut sehingga terjadi interaksi dan transaksi ’gelap’ dengan menggunakan simbol-simbol eksklusif lain, bagaimana subyek memandang dan mendefinisikan diri mereka berdasarkan pandangan orang lain, apakah mereka lebih senang disebut pelacur, pelacur kelas atas, escort, pemijat plus, model plus, atau sekadar ’teman jalan’? Adakah istilah-istilah dan bahasa-bahasa isyarat tertentu yang mereka gunakan? Bagaimana dengan keluarga dan teman-teman mereka di luar lingkungan prostitutif mereka? Apakah mereka menyembunyikan profesi mereka atau terbuka? Berapa banyak pelanggan dan penghasilan mereka dari hasil beriklan? Adakah pengaruh iklan terhadap kenaikan penghasilan mereka? Digunakan untuk apa saja penghasilan mereka? Lebih banyak untuk membantu perekonomian diri dan keluarga, atau lebih banyak untuk bersenang-senang?
Menurut pandangan model interaksi simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebaliknya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadangkadang juga dalam interaksi kecil antar individu. Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol ,unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksi simbolik, yaitu:
1. Simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif,
2. Pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim,
3. Pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku,
4. Makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksi simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa interaksi simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksi simbolik lebih memahami hal-hal yang.konkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksi simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Menurut Blomer (dalam Spradley, 1997:7) ada beberapa premis interaksi simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut: Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.
Kedua, dasar interaksi simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksi simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi.
Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks;
2. Karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian;
3. Peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya;
4. Perlu direkam situasi yang melukiskan simbol;
5. Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
6. Perlu menangkap makna di balik fenomena;
7. Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.

Proses penelitian dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses:
 Terjemah (translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke tulisan;
 Penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar terangkum konsep yang jelas;
 Ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji;
 Pemaknaan, menuntut kemampuan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.


Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu:
1. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas,
2. Peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek,
3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi,
4. Setting dan pengamatan harus dicatat,
5. Metode harus mencernunkan proses perubahan,
6. Pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik,
7. Penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang dibangun interaksional dan universal.

Atas dasar berbagai rujukan interaksi simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku. Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya. Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian model interaksi simbolik.
Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik. Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksi simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.


DAFTAR PUSTAKA
1. M. Francis Abraham. 1982. Modern Sociological Theory (An Introduction). Oxford: Oxford University Press. Chapter 8. Simbolic Interacsionism.
2. Ryadi Soeprapto. 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar
3. Lexy J. Moleong. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya